Rasa geram tampak jelas di wajah puluhan warga Kota Cirebon yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon.
Mereka kembali berkumpul di sebuah rumah makan di Jalan Raya Bypass, Rabu (13/8/2025) malam, untuk menegaskan satu tuntutan yang telah mereka gaungkan sejak awal tahun, batalkan kenaikan Pajak Bumi Bangunan (PBB) hingga 1.000 persen.
PBB merupakan pajak yang harus dibayar masyarakat atas kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan bumi dan/atau bangunan.
PBB merupakan salah satu pendapatan daerah yang digunakan untuk biaya pembangunan dan pelayanan publik.
Juru Bicara Paguyuban Pelangi Cirebon, Hetta Mahendrati menyebut, perjuangan warga melawan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 ini bukan hal baru.
“Perjuangan kami sudah lama, sejak Januari 2024. Kami hearing di DPRD 7 Mei, turun ke jalan 26 Juni, lalu 2 Agustus ajukan judicial review. Desember kami dapat jawaban, JR kami ditolak,” ujar Hetta, Rabu (13/8/2025) malam.
Tak berhenti di situ, warga juga mengadu ke Presiden Prabowo Subianto, Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pemeriksa Keuangan pada 15 Januari 2025.
“Semua keluhan sudah kami sampaikan, tapi sampai detik ini belum ada satu pun jawaban dari mereka,” ucapnya.
Menurut Hetta, kenaikan PBB berdasarkan Perda tersebut berlaku merata, dengan kisaran minimal 150 persen hingga 1.000 persen.
Ia mencontohkan, salah satu warga bernama Suryapranata harus menanggung kenaikan 1.000 persen, sementara warga bernama Kacung mengalami kenaikan 700 persen.
Bahkan, ada kasus ekstrem kenaikan 100.000 persen akibat kesalahan pemerintah, namun tetap dibebankan ke warga.
“Orang itu sampai harus berutang ke bank untuk bayar PPHTB dan mengurus AJB. Apakah itu bijak?” jelas dia.
Ia menilai kebijakan ini tidak masuk akal, apalagi ekonomi warga belum pulih pascapandemi.
“Tahun 2023 kita baru selesai pandemi, apakah bijak dinaikkan hingga 1.000 persen? Pemerintah bilang ekonomi naik 10 persen, tapi dari mana? Dari titik nol?” katanya.
Paguyuban Pelangi Cirebon membawa empat tuntutan utama, yakni membatalkan Perda No.1 Tahun 2024 dan mengembalikan tarif PBB seperti tahun 2023, menurunkan pejabat yang bertanggung jawab atas kebijakan ini, memberi waktu satu bulan bagi Wali Kota untuk bertindak, serta mengimbau agar pajak tidak dijadikan sumber utama PAD.
Hetta menyebut, perjuangan ini terinspirasi dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang berhasil membatalkan kenaikan PBB sebesar 250 persen.
“Kalau di Pati bisa, kenapa di Cirebon tidak? Kami ingin seperti Pati.”
“Kami akan terus berjuang sampai tuntutan ini dikabulkan,” ujarnya.
Ia menegaskan, jika tuntutan tidak dipenuhi, aksi demonstrasi akan kembali digelar.
“Kami tidak pernah berhenti berjuang. Kami berharap media membantu menyuarakan perjuangan ini agar terdengar oleh para petinggi,” ucap Hetta.
Sumber: jabar.tribunnews.com