Setelah hebohnya skandal sertifikasi halal pada produk “wine” yang sempat menggemparkan publik, kini kasus serupa kembali muncul ke permukaan.
Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat dihebohkan oleh beredarnya video yang menunjukkan adanya produk pangan berlabel “tuyul”, “tuak”, “beer”, dan “wine” yang berhasil mendapatkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Produk-produk tersebut diyakini telah menyalahi ketentuan fatwa halal yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Temuan ini menuai beragam respons keras dari berbagai kalangan, khususnya di media sosial, di mana publik mempertanyakan bagaimana produk-produk yang secara tradisional dianggap haram dapat lolos sertifikasi halal.
Menyikapi laporan masyarakat tersebut, MUI segera melakukan klarifikasi dan investigasi untuk mendapatkan kepastian informasi.
Klarifikasi dari MUI
Menyikapi temuan tersebut, MUI langsung melakukan investigasi cepat dan menggelar pertemuan penting yang dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk pimpinan Komisi Fatwa MUI.
Pertemuan yang dipimpin oleh Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Dr Asrorun Niam Sholeh, digelar secara hybrid di Kantor MUI pada Senin sore, 30 September 2024.
Dalam pertemuan tersebut, dilakukan pendalaman kasus dan pengecekan terkait validitas informasi yang diterima dari masyarakat.
Setelah melakukan investigasi, MUI mengonfirmasi bahwa benar produk-produk yang dimaksud telah memperoleh sertifikat halal melalui BPJPH.
Namun, produk tersebut mendapat sertifikasi melalui mekanisme self declare tanpa melalui proses audit dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan tanpa penetapan kehalalan dari Komisi Fatwa MUI.
“Penetapan halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI dan tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Oleh karena itu, MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut,” tegas Prof.
Niam usai memimpin rapat klarifikasi dan tabayun yang dihadiri oleh para pemerhati halal serta masyarakat yang melaporkan kasus ini.
Langkah Selanjutnya
Dalam kesempatan yang sama, Prof Niam menegaskan bahwa MUI akan segera berkoordinasi dengan BPJPH dan pihak-pihak terkait untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
Menurutnya, penting untuk menjaga kredibilitas sertifikasi halal di Indonesia, yang bisa runtuh jika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga penjamin halal.
“Saya akan segera berkomunikasi dengan BPJPH, khususnya teman-teman di Kementerian Agama, untuk membahas masalah ini lebih lanjut. Jangan sampai ada pihak yang tidak bertanggung jawab yang merusak kepercayaan publik terhadap sistem sertifikasi halal kita,” ujar Niam dengan tegas.
Lebih lanjut, dalam pertemuan tersebut diperoleh informasi bahwa produk-produk yang mendapat sertifikasi halal tersebut sempat terpampang di situs resmi BPJPH.
Namun, dalam beberapa hari terakhir, produk-produk tersebut telah dihapus dari daftar yang ada di aplikasi BPJPH.
Fatwa MUI Tentang Standar Halal
Terkait hal ini, MUI menegaskan bahwa penetapan kehalalan sebuah produk harus mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh MUI.
Dalam hal ini, MUI telah mengeluarkan beberapa fatwa yang mengatur tentang kriteria dan standar sertifikasi halal, salah satunya adalah Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal.
Menurut fatwa tersebut, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah produk untuk dapat dikategorikan halal,.
Di antaranya adalah tidak boleh menggunakan nama atau simbol yang mengarah kepada kekufuran, kemaksiatan, atau hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Selain itu, produk juga tidak boleh mengandung unsur yang diharamkan oleh agama.
Sesuai dengan pedoman dan standar halal, MUI tidak bisa menetapkan kehalalan produk yang menggunakan nama yang terasosiasi dengan produk haram, baik dari segi rasa, aroma, maupun kemasan.
“Apalagi produk yang secara umum dikenal sebagai jenis minuman yang memabukkan seperti tuak, beer, atau wine. Ini jelas melanggar fatwa yang ada.”
Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 juga menjelaskan lebih detail tentang ketentuan penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal.
Produk yang menggunakan nama-nama yang berkonotasi negatif, termasuk produk yang terkait dengan alkohol, babi, dan hewan yang diharamkan, tidak diperkenankan untuk mendapatkan sertifikasi halal.
sumber: sumeks.disway.id