Ketegangan terjadi antara dua kelompok pemuda di area parkir Rumah Sakit Umum (RSU) Tangerang Selatan pada Rabu, 21 Mei 2025. Perselisihan ini dipicu oleh sengketa pengelolaan lahan parkir milik Pemkot Tangsel, yang memunculkan aksi saling sindir hingga nyaris berujung pada bentrokan fisik.
Berdasarkan pantauan di lokasi, suasana mulai memanas sejak siang hari. Kedua kelompok tetap bertahan di sekitar lokasi yang direncanakan untuk pemasangan palang otomatis (barrier gate) hingga sore. Salah satu kelompok diidentifikasi sebagai bagian dari organisasi masyarakat Pemuda Pancasila (PP) Tangerang Selatan.
Subi, yang menjabat sebagai Wadan Koti PP Kota Tangsel, menyatakan bahwa pihaknya tidak menerima pemberitahuan resmi terkait rencana pemasangan plang dan pembangunan barrier gate oleh perusahaan yang memenangkan tender.
“Ini kan area rumah sakit, seharusnya ada musyawarah dulu. Tapi mereka langsung cor-cor pondasi tanpa koordinasi,” ujarnya.
Meskipun berada dalam situasi saling berhadapan, kedua belah pihak masih mampu menahan diri. Namun, adu mulut dan saling sindir tetap terjadi. “Ngapain kalian di sini? Cuma bawa rokok dan kopi, terus narik parkir? Itu pungutan liar!” teriak seseorang dari salah satu kelompok yang mengenakan kemeja merah.
Konflik ini melibatkan pihak perusahaan pemenang lelang pengelolaan parkir dengan kelompok warga dan ormas yang mengklaim sudah lama mengelola lahan tersebut. Kelompok warga diketahui menetapkan tarif parkir sebesar Rp3.000 untuk motor dan Rp5.000 untuk mobil.
Sementara itu, perwakilan dari perusahaan pengelola parkir—yang enggan disebutkan namanya—membantah tudingan tidak adanya sosialisasi.
“Ini sudah upaya keempat kami. Mereka selalu halangi. Kalau bilang tidak ada pemberitahuan, itu tidak benar,” tegasnya.
Insiden ini sempat mengganggu kenyamanan pengunjung dan staf rumah sakit. Hingga kini belum ada intervensi dari pihak berwenang untuk meredam situasi. Pihak manajemen RSU pun memilih tidak memberikan komentar.
Sengketa parkir di RSU Tangsel sebenarnya bukan persoalan baru. Wilayah tersebut selama ini diklaim dikuasai oleh warga dan ormas setempat. Pihak perusahaan yang memenangkan lelang mengaku kesulitan melaksanakan proyek karena terus dihadang.
Sampai berita ini ditulis, situasi di lapangan masih menegang. Kedua pihak tetap bersikeras mempertahankan posisi mereka masing-masing. Jika tidak ada langkah mediasi dari aparat, kemungkinan bentrokan fisik tetap terbuka.