Pengguna media sosial tengah ramai menyoroti penjualan tiket Lisa Fan Meetup Asia 2024 in Jakarta. Tiket yang telah dijual resmi sejak Selasa 22 Oktober kemarin mendapat sorotan BLINK (sebutan penggemar BLACKPINK) lantaran harganya yang selangit. Bahkan untuk ukuran konser pun, masih terlalu tinggi.
Bahkan sejak 24 jam usai tiket dijual, tiket Fan Meetup in Jakarta belum habis terjual. Untuk tiket termurah yang dijual untuk acara ini adalah sebesar Rp1,8 juta per orang. Sedangkan untuk yang tertinggi harganya hampir Rp 6 juta per orang.
Mayoritas BLINKs adalah genZ dari kelompok masyarakat kelas menengah yang setahun terakhir melorot daya belinya. Kemampuan ekonomi keluarga mereka berangsur menurun terdampak gelombang PHK dan minimnya lapangan kerja.
Wajar saja bila harga tiket acara yang bergerak dari hampir Rp2 juta hingga hampir Rp6 juta bagi mereka ada penghalang kesempatan bertemu langsung dengan sang idola. Keluh kesah pun ditumpahkan di media sosial X. Harga tiket fan meeting Lisa bahkan dibanding-bandingkan dengan tiket konser penyanyi IU yang 2 kali jauh lebih murah.
“fan meetupnya aja harga tiketnya hampir 6 juta? Sekelas IU aja paling mahal 3 jutaan kalo gak salaahhh. yang kualitasnya lebih bagus malah harga tiketnya yang lebih murah” tulis netizen.
“Promotor berpikir ngebawa Michael Jackson kah,” komentar lainnya.
Dua unggahan di atas bukan sekedar ungkapan kekecewaan tidak dapat hadiri Lisa Fan Meetup. Tetapi juga tentang perasaan teralienasi dari komunitas penggemar yang selama ini menjadi sumber kegembiraan dan dukungan.
Mayoritas komunitas BLINK pun menghadapi dilema, keinginan bisa bertemu idola versus realitas ekonomi yang keras. BLINKs harus memilih antara mendukung idolanya atau mengamankan saldo rekening demi kebutuhan finansial yang lebih penting di tengah masa penuh ketidakpastian ekonomi ini.
Fenomena di atas sekaligus cermin dampak Korean Wave yang tidak hanya mempengaruhi industri hiburan tetapi juga kemampuan ekonomi dan gaya hidup. Kehadiran Lisa di Jakarta adalah simbol dari pengaruh budaya Korea yang kuat, namun juga mengingatkan kita pada tantangan yang dihadapi oleh masyarakat kelas menengah.
Mereka yang sebelumnya mampu menikmati konser dan acara serupa, kini harus berpikir dua kali karena kenaikan harga yang signifikan. Di dalam konteks yang lebih luas, nampak bahwa konsumsi hiburan dan budaya pop dapat menjadi indikator sosial-ekonomi yang penting.