Insiden pemukulan wasit dalam pertandingan sepak bola Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI/2024 antara Aceh dan Sulawesi Tengah di Stadion Dimurthala, Banda Aceh, Sabtu (14/9), telah mengguncang dunia sepak bola nasional.
Aksi ini menjadi sorotan besar, memicu berbagai reaksi keras dari tokoh sepak bola dan pengamat nasional, yang menilai insiden tersebut sebagai cerminan serius tentang kondisi manajemen pertandingan sepak bola di Indonesia.
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, dengan tegas mengecam tindakan pemukulan yang dilakukan oleh pemain Sulawesi Tengah, Muhammad Rizki, terhadap wasit Eko Agus Sugiharto.
Pemukulan itu terjadi pada masa injury time, tepatnya menit ke-90+6, setelah wasit memberikan penalti kontroversial kepada Aceh.
Keputusan ini langsung memicu kemarahan Rizki yang tanpa ragu melayangkan bogem mentah kepada wasit, yang berujung pingsannya sang pengadil lapangan.
Insiden ini jelas membangkitkan kekhawatiran tentang bagaimana integritas dan keselamatan perangkat pertandingan harus lebih dijaga.
Tommy Desky, pengamat sepak bola nasional, mengungkapkan rasa kecewanya terhadap insiden tersebut. Menurutnya, insiden itu menunjukkan bahwa sepak bola Indonesia seperti kembali ke era kelam.
“Sungguh sangat mengecewakan. Saya kebetulan asli putra Aceh, dan ini bukanlah hal yang patut dibanggakan. Sepak bola di PON ini seharusnya menjadi ajang pembinaan, bukan ajang kebrutalan,” ujarnya kepada JawaPos.com.
Tommy menegaskan bahwa tindakan pemukulan terhadap wasit memang tidak bisa dibenarkan. Meski demikian, dia juga menyoroti kepemimpinan wasit dalam pertandingan, yang dinilai sebagai salah satu faktor penting dalam mengendalikan emosi para pemain di lapangan.
Tommy menambahkan bahwa kepemimpinan wasit yang baik bisa menjadi kunci untuk meredam insiden seperti ini.
“Wasit memiliki peran besar dalam menjaga jalannya pertandingan dengan adil. Kalau wasit memutuskan sesuatu dengan tidak tepat, apalagi dalam situasi krusial seperti pemberian penalti, itu bisa memicu reaksi yang tidak terkontrol dari pemain. Namun, tetap saja, tindakan kekerasan tidak bisa menjadi pembenaran, dan pelaku harus dihukum berat.”
Pandangan Tommy juga menyentuh pentingnya peran sepak bola sebagai teladan bagi generasi muda. Menurutnya, sepak bola tidak hanya sekadar permainan, tapi juga sumber inspirasi bagi para pemain muda yang sedang merintis karier.
“Apa yang dilihat oleh anak-anak muda di lapangan, baik dari sisi pemain maupun wasit, akan menjadi contoh bagi mereka. Jika yang ditampilkan adalah ketidakadilan, maka itu bisa berdampak buruk esensinya itu (PON sebagai pembinaan olahraga) rusak atau hilang.”
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam dan akan memberikan sanksi berat kepada perangkat pertandingan yang terlibat dalam insiden tersebut.
Langkah ini dianggap tepat oleh Tommy Desky, yang memuji ketegasan PSSI dalam menghadapi kasus ini.
“Ini adalah langkah yang sangat tepat. PSSI memang harus agresif dalam memperbaiki citra wasit di Indonesia, dan kejadian ini mencoreng upaya yang telah dilakukan selama ini. Investigasi mendalam sangat diperlukan untuk menemukan akar masalah yang menyebabkan insiden seperti ini terjadi.”
Tommy juga menekankan bahwa sepak bola Indonesia perlu melakukan perbaikan mendasar, terutama dalam hal manajemen wasit. Dia menyoroti bahwa banyak keputusan kontroversial yang dibuat oleh wasit di berbagai level kompetisi di Indonesia, termasuk dalam ajang PON ini.
“Kepemimpinan wasit yang tidak adil hanya akan memperburuk kualitas pertandingan dan mencederai semangat sportivitas,” tegasnya.
Pendapat serupa disampaikan oleh Oryza A. Wirawan, salah satu pendiri Bonek Writer Forum (BWF), yang menilai bahwa kekerasan di lapangan tidak bisa ditoleransi.
“Peristiwa pemukulan wasit ini sangat memprihatinkan. Bagaimanapun, keputusan wasit harus dihormati oleh pemain. Rule of the game adalah hal yang fundamental dalam sepak bola, dan menghormati perangkat pertandingan adalah bagian dari itu,” ujarnya.
Oryza menilai bahwa wasit di Indonesia sering kali menjadi subjek kontroversi karena beberapa faktor. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman yang mendalam terhadap aturan permainan.
“Ada dua hal yang bisa menyebabkan ini: pertama, kemampuan wasit dalam memahami Law of The Game (aturan permainan) masih kurang, dan kedua, ada faktor-faktor eksternal yang kadang menimbulkan kecurigaan terhadap keputusan yang dibuat,”paparnya.
Oryza menambahkan bahwa sepak bola Indonesia berada dalam lingkaran setan. Keputusan kontroversial oleh wasit sering kali memicu kekerasan, sementara kekerasan di lapangan juga merusak citra sepak bola dan melemahkan moral pemain muda.
“Ini adalah tantangan besar bagi PSSI. Mereka harus mulai memikirkan pembinaan yang serius untuk wasit, bukan hanya fokus pada pengembangan pemain dan klub. Wasit adalah bagian integral dari kompetisi, dan kualitas mereka akan sangat menentukan jalannya pertandingan.”
Selain itu, Oryza juga menyoroti pentingnya memberikan sanksi yang tegas kepada pemain yang melakukan kekerasan serta wasit yang dianggap tidak kompeten.
“Kalau PSSI memberikan sanksi keras, itu memang sudah seharusnya. Namun, sanksi tersebut harus berdasarkan hasil investigasi yang adil. Jangan sampai keputusan sanksi justru tidak memberikan efek jera atau tidak mengedukasi para pelaku sepak bola di Indonesia,” tutupnya.